Sabtu, 14 September 2013

Esok, Semoga Aku Bisa Mati

ehhiyaa gua ada cerpen nih,cerpen dulu bgt.. langsung baca aja yaaa! jgn lupa tutup mata :)
.
.
.

Esok, Semoga Aku Bisa Mati

18 Juni 2012


Pintu mobil Mercy hitam terbuka perlahan-lahan. Tiga orang berjas hitam turun lalu berjalan beriringan menuju mobil yang letaknya paling depan. Salah satu dari mereka membukakan pintu.
“Jadi ini,” ujar seorang gadis yang duduk di mobil. Setelah tangan sang pengawal terjulur menyentuhnya, barulah dia keluar. “Ini tempat konserku,” ujar gadis itu.

“Ya, Nona,” jawab Don, pengawal pribadinya.

“Berapa orang yang akan hadir?” tanyanya. Don ikut mengedarkan pandangan. “Sekitar dua ratus pengunjung,” jawabnya.

“Termasuk orang-orang itu?” tanya si gadis. Don melepas kaca mata hitamnya dan memicingkan mata.

“Ya.”

+

Namanya Bramanindya Sastradilega. Dia adalah putri tunggal orang terkaya di kota Semarang, Jaya dan Monica Sastradilega. Menjadi putri tunggal orang kaya tidak membuat Bramanindya manja. Dia tumbuh menjadi gadis mandiri yang cerdas. Sayang, kecelakaan yang dialaminya beberapa bulan lalu membuatnya berada pada titik nadir. Bramanindya kehilangan kedua orang tuanya, juga penglihatannya. Sampai sekarang dia masih percaya bahwa kecelakaan itu direncanakan oleh seseorang.

Bramanindya sedang duduk di kursi pianonya. Andy, asistennya, ada di sampingnya. Dia bertugas menuliskan not balok di kertas sesuai dengan nada yang dimainkan oleh Bramanindya.

“Kau benar-benar akan menyelesaikan simphoni ini?” tanya Andy. Bramanindya mengangguk. “Kau sadar akan bahayanya?” tanya Andy lagi. Bramanindya tersenyum. “Aku lolos dari kecelakaan mengerikan yang menewaskan kedua orang tuaku. Adakah yang lebih berbahaya dari itu?”

Andy menggeleng. “Aku masih tidak percaya kalau simfoni ini bisa membuat orang... em... mati,” ujarnya lirih.
“Kau tidak akan tahu sebelum mencobanya.”

“Tapi belum ada penelitian sama sekali tentang musik yang bisa membunuh orang,” kata Andy.

“Musik dengan volume keras dan nada-nada tinggi yang ditekan dengan kuat akan mempengaruhi syaraf manusia. Sudah ada jurnalnya,” ujar Bramanindya. Andy tidak dapat mengelak lagi. Dia menuliskan beberapa not balok sebelum Bramanindya memintanya memakai sumbat telinga.

“Jangan mendengarkan musikku dengan serius atau kau akan mati,” ujar Bramanindya lalu memainkan musiknya. Bramanindya memakai nada tinggi hampir di semua bagian dan menekan tuts piano dengan keras. Entah mengapa tiba-tiba Andy merasa kepalanya berdenyut.

“Stop... Stop...” Andy memegangi kepalanya yang sakit. Dia segera meraih tangan Bramanindya. Permainan pianonya terhenti seketika. “Kalau kau memainkan musikmu terus menerus, kurasa aku benar-benar akan mati,” jawab Andy. Dia memegangi kepalanya yang berdenyut. Bramanindya tersenyum puas. Setidaknya dia berhasil mencoba musiknya pada orang lain dan melihat akibatnya.

Andy segera mendapati keganjilan ketika melihat majikannya. “Mengapa kau bisa setenang itu? Apa kepalamu baik-baik saja?” tanyanya.

Bramanindya hanya menyeringai.

+

“Don?”

Bramanindya menyapa pengawal pribadinya yang baru saja masuk. “Anda tahu saya datang, Nona?” tanyanya. Bramanindya mengangguk. “Bau parfummu khas sekali. Ada apa?”

“Persiapan sudah mendekati final,” jawab Don sambil duduk di kursi. Bramanindya mengangguk-angguk sambil tetap menyisir rambutnya. “Pastikan orang-orang itu hadir di konserku,” kata Bramanindya.

“Saya sudah mengundang semua petinggi di kota. Mereka pasti datang,” jawab Don. Bramanindya tersenyum puas. “Em... Anda sama sekali tidak akan merasa bersalah seumur hidup telah melakukannya?” tanya Don.

“Mereka sama sekali tidak merasa bersalah ketika membunuh kedua orang tuaku. Untuk apa aku memberi belas kasihan pada mereka,” jawab Bramanindya.

“Anda sedang berduka, Nona. Anda tidak dapat berpikir jernih...”

Bramanindya bangkit dan menghampiri Don. Tangannya meraba-raba. “Ketika kau menemukan kedua anakmu terbunuh di loteng, apa yang kau rasakan?” tanya Bramanindya. Don berdehem dan mendesah. “Apalagi setelah menemukan pembunuhnya yang ternyata isterimu sendiri?” lanjut Bramanindya sambil menuang teh dan menyeruputnya perlahan. Don terdiam. Perkataan Bramanindya menguak kembali memori pahitnya yang selama ini dikuburnya dalam-dalam. Suasana hening.

“Aku minta padamu...” Bramanindya menghela napas, “...setelah konser itu, jangan pernah mencariku lagi.”

“Tapi kenapa, Nona?” Don menyela. Bramanindya tersenyum. “Kau pikir aku masih bisa hidup tanpa kedua orang tuaku ada di sisiku?”

Don terhenyak.

+

Siang itu Bramanindya kembali meninjau lokasi. Andy dan Don turut serta. Don menjelaskan secara detail dimana panggung akan dibangun, dimana letak kursi penonton, dimana tempat duduk tamu VIP, serta dimana tamu “istimewanya” akan duduk. Bramanindya menyeringai dan mengamit lengan Andy.

“Apakah bangunan ini memiliki menara yang tinggi?” tanyanya lirih. Andy mengedarkan pandangannya. “Ya,” jawabnya singkat.

“Antar aku kesana,” pinta Bramanindya. Andy menurut. Tak lama kemudian mereka sampai. Bramanindya berdiri dan merentangkan tangannya. Dia menghirup napas dalam-dalam.

“Aku bisa merasakan kehadiran kedua orang tuaku disini. Juga maut,” kata Bramanindya. Andy hanya diam. Majikannya yang satu ini sering meracau. “Sebaiknya kita kembali,” kata Andy sambil meraih tangan Bramanindya. Bramanindya menurut.

“Ada satu permintaan dariku...” Bramanindya menggenggam tangan Andy dengan erat, “...jangan biarkan Don tahu aku pernah kesini.”

Andy tidak curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk. Mereka segera turun dan menemui Don.

“Dari mana saja kalian? Aku mencari kalian kemana-mana.” Don berlari menghampiri Bramanindya dan Andy. Dia tampak cemas. Bramanindya bisa mengetahuinya dari nada suara Don yang meninggi.

“Aku dan Bramanindya baru saja...”

“Kami hanya mencari angin,” potong Bramanindya cepat. Dahi Don mengernyit. “Benar itu, Andy?” tanya Don. Andy segera merasakan cubitan kecil di tangannya. Dia meringis dan mengangguk-angguk. Setelah Don pergi, dia segera mengibaskan lengan Bramanindya yang masih memegang tangannya.

“Dia sudah pergi,” kata Andy. Bramanindya mendengus. “Hampir saja kita ketahuan,” katanya. Andy merengut. Dia mengusap lengannya yang merah. “Apa yang kau rencanakan? Kenapa Don tidak boleh tahu?” tanyanya. Bramanindya menyeringai.

“Karena dia selalu ingin ikut campur.”

+

Beberapa hari kemudian...

Bramanindya sedang berbaring di kasur empuknya. Esok adalah hari besarnya. Dia akan memainkan simfoni pertamanya didepan orang banyak. Perlahan-lahan diraihnya sebuah bingkai foto di meja dan mengusapnya. Bramanindya mendengus kecil. “Aku bahkan tidak bisa melihat kalian untuk yang terakhir kalinya,” ujar Bramanindya lirih. Berkali-kali dia menarik napas panjang. “Adakah nasib manusia yang lebih sial dari ini, Bunda, Ayah?”

Bibir Bramanindya bergetar. “Bahkan aku tidak bisa melihat wajah kalian di foto ini!”

Tess...

Sebutir air mata jatuh. Bramanindya bergegas mengusapnya. Tidak. Dia tidak boleh menangis. Kerinduan ini hanya sementara. Esok segera dia akan berkumpul lagi dengan kedua orang tuanya. Perlahan-lahan diambilnya sebuah spidol dan secarik kertas yang sengaja disiapkan oleh Don di mejanya.

‘Untuk Mike Donahue. Terimakasih karena sudah menjagaku’, tulisnya di kertas tersebut. Tidak peduli tulisannya acak-acakan atau tumpang tindih. Don pasti mengerti maksudnya. Bramanindya menarik napas panjang dan menarik selimutnya.

“Esok, semoga aku bisa mati,” doanya pada Tuhan.

+

Lokasi Konser Bramanindya...

“Membungkuklah, Nona,” bisik Don melalui alat yang tertempel di telinganya. Bramanindya yang telah berdiri di panggung menurut. Gemuruh tepuk tangan segera terdengar. Bramanindya tersenyum manis. “Apakah mereka ada di sana, Don? Orang-orang yang kucurigai sebagai pembunuh kedua orang tuaku?” tanyanya tanpa melepas senyum.

“Ya. Baris pertama, VVIP,” jawab Don.

“Siap menjemput maut. Nyawa mereka ada di tanganku sekarang.”

Bramanindya menyeringai. Kali ini dia sudah duduk di kursi piano dan mulai memainkannya. Nada-nada tinggi juga tuts piano yang ditekan kuat-kuat mulai terdengar. Perlahan-lahan para penonton menutup telinganya.

“Hey, STOP!”

“Suruh anak itu berhenti!”

“Apa-apaan ini? Sungguh musik yang tidak bisa dinikmati!”

Terdengar seruan-seruan dari bangku penonton. Don berusaha memberitahu Bramanindya melalui alat komunikasi di telinganya namun Bramanindya tidak peduli. Don dapat melihat Bramanindya melemparkan alat itu ke arah penonton. Sungguh berantakan. Satu persatu para penonton meninggalkan tempat. Bramanindya masih tidak peduli. Dia memainkan simfoninya hingga akhir. Don dan Andy bergegas membantu Bramanindya berdiri dari kursinya. Sampah-sampah berserakan di sekitar panggung. Mereka takut Bramanindya terpeleset.

“Aku memberikan penghormatan terakhir untuk hidup mereka,” jawab Bramanindya sambil membungkukkan badan. Don hanya menggedikkan bahu. Tanpa sepengetahuan Don, Bramanindya segera menggamit lengan Andy yang sedari tadi ada di sampingnya.

“Kau ingat menara yang waktu itu kita kunjungi? Cepat antarkan aku kesana, ya. Tapi ingat, jangan sampai Don tahu,” pinta Bramanindya. Andy menurut. Dia sama sekali tidak tahu bahwa majikannya merencanakan sesuatu. Diam-diam Andy menggenggam tangan Bramanindya dan mengajaknya berlari.

“Silakan, Princess,” ujar Andy sambil menggenggam tangan Bramanindya yang meraba-raba. Mereka sampai di menara. Bramanindya mengangguk dan berjalan dua langkah kedepan. Tangannya direntangkan.

“Hm, aku bisa mencium bau maut disini,” racau Bramanindya. Tangannya meraba Andy yang berdiri di sampingnya. “Bisakah kau mengambilkan air minum untukku?” tanya Bramanindya.

“Kau tidak ikut turun?”

“Tidak...” jawab Bramanindya, “...aku ingin menikmatinya dari sini. Sebentar lagi maut akan menguasai langit.”

+

Suasana jalanan kota tidak seramai biasanya. Satu persatu mobil mewah keluar dari halaman. Don menunggu dengan tegang. Dia melihat sebagian penonton memegangi kepalanya. Kepala mereka sakit berkat permainan piano majikannya tadi. Berbahaya sekali mereka mengemudi dengan kondisi seperti itu.

Tiba-tiba dia terhenyak. Don menyadari sesuatu.

+

Bramanindya merentangkan kedua tangannya. Kakinya melangkah perlahan-lahan. Hampir saja kakinya tergelincir. Bramanindya menyeringai. Dia sampai di tepi bangunan. Cocok sekali dengan keinginannya.
Bramanindya telah siap.

“Ayah, Bunda, semoga aku bisa bertemu dengan kalian hari ini.”

+

Don berusaha mencegah para penonton yang hendak pulang mengendarai mobilnya, namun mereka menolak. Don gemetar. “Mereka benar-benar akan mati,” gumamnya lirih.

Tiba-tiba Andy menepuk bahunya.

“Kau punya air? Bramanindya ingin minum,” kata Andy santai. Don mengernyitkan dahinya. “Dimana dia?” tanyanya. Andy menunjuk Bramanindya dan mendapatinya sedang berdiri di menara dengan gaun hitam yang berkibar. “Hey, dia tadi tidak berdiri di tepi bangunan seperti itu!”

Pupil mata Don mengecil. “Nonaaa! Jangan!” Don berteriak dan berlari menuju Bramanindya. Tepat pada saat itu...

BUMM!! BUUMM!!

+

Api dimana-mana. Mobil-mobil saling bertabrakan. Tumpang tindih. Terbakar. Bramanindya menarik napas panjang. Dia bisa menciumnya. Aroma tubuh para pembunuh kedua orang tuanya yang terpanggang hidup-hidup.

“Selamat datang, malaikat maut.” Bramanindya menyeringai. Kini tunai sudah janjinya. Nyawa dibayar dengan nyawa. Bramanindya merasakan tubuhnya semakin ringan...

“Terimakasih Don... Terimakasih Andy...”
+

Don dan Andy hanya mampu membelalakkan mata. Don menendang udara dan berteriak dengan keras sedangkan Andy memejamkan mata saat melihat darah mengalir di kakinya.

Tubuh Bramanindya terhempas tepat di depan mereka.
             
                   ''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar